Oleh : Simon Rizyard Banundi
Ilustrasi Deployed Military in Papua |
Secara
prinsip saya mengkritisi upaya penghormatan,
pemajuan dan perlindungan HAM [Hak Asasi Manusia] di Tanah Papua masih
sebatas “sebuah mimpi belaka”, tentunya hal
ini membuat HAM orang asli Papua tidak pernah memperoleh
porsi – porsi prioritas dari pihak pengambil
kebijakan (Pemerintah), Kenapa demikian ? sebab pasca satu
dekade (2001 – 2011) Implementasi Undang -
Undang Nomor 21 Tahun 2001 Otonomi
Khusus, serta Undang – Undang Perubahan Nomor 35 Tahun
Read More
2008 [Otsus] Papua, tidak pernah ada fakta yang memberi bukti meyakinkan bagi orang Asli Papua tentang amanat dan tujuan dari regulasi Undang – Undang tersebut. Pemerintah ternyata terang – terangan memperlihatkan upaya menutupi dan menyelamatkan muka akibat gagalnya implementasi Otsus. Dalam hal ini UP4B diimplementasikan secara mengejutkan pada September tahun ini oleh Jakarta, alih – alih istana berkomitment menata Papua dengan hati sebaliknya kekerasan yang paling mengerikan pasca Kongres Rakyat Papua III, 19 Oktober 2011 terjadi didepan mata tanpa ada yang bertanggungjawab dimuka hukum.
Read More
2008 [Otsus] Papua, tidak pernah ada fakta yang memberi bukti meyakinkan bagi orang Asli Papua tentang amanat dan tujuan dari regulasi Undang – Undang tersebut. Pemerintah ternyata terang – terangan memperlihatkan upaya menutupi dan menyelamatkan muka akibat gagalnya implementasi Otsus. Dalam hal ini UP4B diimplementasikan secara mengejutkan pada September tahun ini oleh Jakarta, alih – alih istana berkomitment menata Papua dengan hati sebaliknya kekerasan yang paling mengerikan pasca Kongres Rakyat Papua III, 19 Oktober 2011 terjadi didepan mata tanpa ada yang bertanggungjawab dimuka hukum.
Muaranya sektor penegakan hukum dan HAM, Sepanjang dua belas bulan terakhir,
tidak banyak oleh Pemerintah mengelaborasi dalam policy yang konkrit dan konstruktif. Apalagi kasus masa lalu (pelanggaran HAM) misalnya tidak sama sekali
menjadi agenda penting oleh Pemerintah baik Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Kalangan wakil rakyat atau DPRPB
(Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat)
yang dipercayakan melalui Pemilu langsung justru terjerumus dalam kesalahan –
kesalahan serius di awal tahun 2011 ini.
Diantaranya menurut
saya, pertama DPRD PB tidak pernah berpikir untuk mengagendakan guna
menyatakan sikap atau keputusan politik terkait “Surat
Mendagri
Nomor 161/92/4824/SJ Perihal pembentukan MRP di Provinsi Papua Barat”, kedua, DPRD PB telah memaksakan kemauannya dengan mengambil
sikap terkait Pemilihan kepala daerah Propinsi Papua Barat tidak lagi pemilihan
langsung oleh rakyat, ketiga, DPRD PB telah sekaligus
membahas Raperdasus yang terdiri dari dua draft yang mengalami disintegrasi
masing – masing Draft Raperdasus Pemilihan Kepala Daerah Propinsi Papua Barat
secara langsung serta adanya Draft Raperdasus Pemilihan Kepala Daerah Propinsi
Papua Barat melalui DPRD PB, keempat, DPRD PB telah secara tidak
langsung mengintervensi kinerja institusi independen KPUD Papua Barat
menyangkut pemilihan kepala daerah. Dan yang ke-lima, Institusi DPRD
PB [legislative]telah dan sedang menunjukan itikad politik yang tidak mendukung
adanya kebersamaan dengan pemerintah Propinsi Papua Barat [eksekutif] sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana berdasarkan Undang – Undang
Pemerintah Daerah.
Walaupun tahun 2011 mendadak ada lembaga MRPB di
Propinsi Papua Barat, lembaga ini sebaliknya mengalami stagnasi di sebuah
resorth mewah yang dikelolah swasta. MRPB hanya mampu bertugas dalam memberikan
suara terkait verifikasi status keaslian orang Papua pada kandidat Gubernur dan
Wakil Gubernur Propinsi Papua Barat Periode 2011 – 2016.
Ironisnya, sebelumnya lembaga ini (MRPB) adalah
institusi yang ditolak oleh masyarakat, kala itu publik merasa berkehendak
langsung dengan MRP sebab MRP bukanlah supra struktur Politik Pemerintah
melainkan MRP adalah lembaga kultur yang berasal dan milik masyarakat.
Pemerintah Pusat melalui secarik surat Mendagri Nomor 161/92/4824/SJ tertanggal 8 Desember 2010 ternyata telah membentuk
lembaga ini secara rahasia, padahal pembentukan atau pemekaran MRP adalah
urusan Pemerintah Daerah berdasarkan payung Undang – Undang Otsus yang
diberikan Jakarta.
Hal lainnya yang terjadi yaitu, carut marutnya proses
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Papua Barat justru memaksa situasi keamanan
dalam wilayah Propinsi Papua Barat menjadi tidak aman bagi seluruh warga. Saya sebagai
staf LP3BH Manokwari juga selaku kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi
menemukan bahwa sepanjang Tahun 2011 sedikitnya 15 orang
warga sipil Papua dan Non-Papua telah menjadi
korban, terdapat 11 Orang meninggal dunia secara misterius, dua orang
warga sipil lainnya hilang dan tidak diketahui keberadaannya di pantai SIdey - Manokwari.
Pada, Selasa 20 Desember 2011, Aksi aparat keamanan
saat hendak memberikan keamanan dan ketertiban pada masyarakat Kota Manokwari
pasca putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengeketa Pilgub Jilid II Papua
Barat, justru aparat malah mempertontonkan mental brutal yang sangat cowboy,
hal ini terlihat dari tindakan aparat yang memaksa warga sipil dengan todongan
senjata api agar menghapus gambar dokumentasi di Hand Phone warga ketika aparat
melakukan pembubaran dan penangkapan paksa warga yang lakukan pemalangan jalan
akibat protes putusan MK.
Peran
aktor keamanan TNI/Polri dan Intelijen telah merembes masuk untuk membatasi
aktifitas – aktifitas berdemokrasi warga sipil, serta Aparat
Kepolisian secara sepihak mengkalim
demi ketertiban umum membatasi secara langsung
maupun tidak lagsung sedikitnya 2 (dua) unjuk rasa/ Demo Damai yang
dilakukan oleh warga sipil.
Kekerasan dan
intimidasi kepada Jurnalis/Wartawan pun cukup marak terjadi di Tahun 2011. Roy
Sibarani (Papua Barat Pos) dan Budi Setywan (Media Papua dan Kontributor Trans
TV), pada kamis, 27 Oktober 2011 melalui Short Message Service (SMS), Hand
Phone dengan pesan ‘Saudara saya ingatkan. Agar segera hentikan pemberitaan
mengenai Kajari Manokwari. Saya tidak segan-segan menghabisi saudara. Sekali
lagi saya ingatkan hentikan, saya mau turun pangkat itu urusan saya, saya tetap
Kajari Manokwari. Kalian sudah sangat keterlaluan, dasar binatang, kualat kalian’. Kasus Kedua
wartawan media lokal Papua Barat ini adalah yang paling aktual setelah
kontributor TV One Manokwari, Anis Das Santos perna dianiaya oknum guru SMK di
Manokwari, Abdul Muin (Metro TV) dicekal oleh Staf KPU Papua Barat untuk tidak
meliput pleno KPU Papua Barat, Toyib (Cahaya Papua) oleh Polres Manokwari
mengalami desakan agar tidak membesar – besarkan perkara Makar, disamping itu
penganiayaan lainnya dialami, Mufriadi (Top TV) di Sorong Selatan oleh pejabat
Pemerintah setempat dan Duma (Cahaya Papua) dianiaya aparat saat meliput
informasi di Timika pada September 2011.
Berangkat dari fakta – fakta situasi tahun 2011,
menurut saya telah ada niat untuk tidak adanya dukungan Politik yang diberikan
oleh Pemerintah pusat bagi terlaksananya implementasi Otsus secara baik,
implementasi Unit Percepetan Pembangungan Propinsi Papua dan Papua Barat [UP4B]
sebagai bukti bahwa Jakarta telah dan sedang mereduksi Otsus yang diberikannya
sendiri. Sehingga Otsus dan suprastruktur Otsus tetap tidak berdaya dan Papua
Barat tetap dalam kendali Pemerintah.
Disisi lain yaitu Kecenderungan
menempatkan Papua pada posisi sebagai daerah rawan keamanan, mengakibatkan dominasi aktor keamanan
dalam
konteks pengamanan di tanah ini senantiasa signifikan, baik dalam bentuk operasi Terbuka maupun operasi tertutup (closed & secreet operation) dari
berbagai institusi intelijen seperti BIN, BAIS, dan lain-lain.
Sejalan dengan itu
maka saya mencatat bahwa perlindungan Hak Asasi Manusia di tanah Papua menjadi
sesuatu mimpi belaka. Sampai saat ini Indonesia telah meratifikasi 6 dari 7
instrumen pokok HAM intemasional, yaitu Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Bentuk
Perlakuan Lainnya yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan, Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik,
dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ratifikasi –
ratifikasi tersebut ternyata tidak sejalan dengan kebijakan – kebijakan
Pemerintah juga termasuk Pemerintah Daerah untuk Orang Asli Papua.
PREDIKSI PENEGAKAN HUKUM & HAM TAHUN 2012
Menurut saya Tahun 2012 sedikitnya akan menjadi
prioritas pemerintah Jakarta yaitu ; Pertama Implementasi program UP4B.
Jakarta saat ini sedang tidak punya pilihan lain selain project UP4B, unit
khusus bentukan SBY ini, akan menjadi bargaining
position NKRI dalam percaturan global soal Papua. Mengapa demikian ? sebab
sepanjang tahun 2011 sedikitnya ke-dua figure dunia, masing – masing Ban Kii
Mon Sekjen PBB dan Hillary Clinton, sempat mengungkap keprihatinan mereka soal
Hak Asasi Manusia di Papua. Dalam kesempatan kunjungan di Auckland, Selandia
Baru tanggal 7 September 2011 Sekjen PBB Ban Kii Mon mengatakan, “kami (PBB)
akan melakukan sesuatu untuk memastikan HAM orang Papua dihargai”. Kesempatan
lainnya yang terpisah, mentri luar negri Amerika Serikat Hillary Clinton 11
Nopember 2011 di Honolulu – Hawai telah mengungkap secara terang – terang kekhawatiran
Pemerintah (Amerika Serikat) akibat pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Kedua, Wilayah
Kepala Burung Propinsi Papua Barat yang notabene
latar belakang pembentukanya
sangat politis maka pemerintah Pusat sangat berkepentingan untuk memastikan
bahwa Propinsi ini selalu aman – aman,
maka wajib dipimpin oleh seorang Gubernur yang
Nasionalis.
Ketiga,
saat ini deployed pasukan keamanan
ditanah Papua terlampau cukup banyak, tidak menutup kemungkinan pemerintah
tidak mengembalikan – pasukan ini ke barak tetapi akan ada pengembangan postur
– postur keamanan baru di atas tanah Papua (Papua Barat juga Papua) termasuk
dalam hal ini rencana pembentukan Polda Papua Barat. Saat ini LO Polda Papua
Barat telah ada dan bermarkas di Manokwari .
Tabea…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar