Analisa & Fokus Pada Aspek Hukum
UU No.21 Tahun 2001 & UU No.35 Tahun
2008
Oleh : Simon Rizyard Banundi
Kantor MRPB Mansinam Resort Beach Manokwari |
Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan representasi
kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka
pelestarian dan perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan
kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Sebagai lembaga yang
mencerminkan kultur orang asli Papua, sudah merupakan kewajiban bagi MRP untuk
memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua dan melestarikan budaya asli
Papua yang selama ini masih diabaikan oleh pemerintah. Dengan disahkannya
UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka pada
prinsipnya MRP merupakan jiwa dan roh dari UU OTSUS tersebut.
MRP
menurut pasal 1 huruf g UU Nomor 21 Tahun 2001 Jo, pasal 5 ayat (2) UU Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua yang
selanjutnya disebut MRP, adalah Representasi kultural orang asli Papua, yang
memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua
dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan
perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Eksistensi MRP telah
diakomodir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis
Rakyat Papua. Dalam rangka upaya perlindungan hak – hak orang asli Papua
menurut PP Nomor 54 tahun 2004, MRP berwenang memberikan pertimbangan dan
persetujuan terhadap bakal Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Propinsi
Papua dan Papua Barat, dibidang legislasi MRP berwenang memberikan pertimbangan
terhadap Raperdasus (Rancangan Peraturan Daerah Khusus) yang diajukan oleh DPR
Papua atau DPR Papua Barat, MRP juga
berwenang memberikan pertimbangan dan Persetujuan terhadap kerjasama Pemerintah
Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat dengan Pihak ketiga serta MRP berwenang
memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah
Propinsi Papua Barat terkait perlindungan hak – hak orang asli Papua.
Sejak
Desember Tahun 2004 atau pasca empat (4) tahun lembaga kultur orang Papua atau
MRP eksis, pada Tahun 2008 Propinsi Papua Barat kemudian diberlakukan Otonomi
Khusus berdasarkan Undang - Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2008 menjadi
Undang – Undang Otonomi Khusus Papua Barat. Sebagaimana menurut konsideran UU
No 35 tahun 2008, bahwa Propinsi Papua
Barat belum diberlakukan Otsus oleh Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otsus bagi Propinsi Papua serta pemberlakukan
Otsus bagi Propinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang mendesak.
Mengacu pada landasan hukum diatas pengaturan secara khusus mengenai MRP yang
notabene sebagai Roh Otsus Papua Barat sepintas termuat pada pasal 1 huruf g UU No 35 Tahun 2008 yang diubah sehingga
berbunyi “Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP, adalah representative
kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka
perlindungan hak – hak orang asli Papua dengan berlandaskan penghormatan
terhadap Adat dan Budaya, pemberdayaan terhadap perempuan dan pemantapan
kerukunan hidup beragama sebagaimana di atur dalam Undang – Undang ini”. Sedangkan pengaturan mengenai apa,
siapa, serta bagaimana tugas, fungi serta kewenangan MRP menurut pasal 1 huruf
g tersebut diatas terulas dalam pasal 19 sampai dengan pasal 25 Undang – Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Hal ini
sebagaimana telah ditegaskan dalam uraian penjelasan dari UU No 35 Tahun 2008
yang mana telah menjelaskan, bahwa dalam rangka optimalisasi
penyelenggaraan dan efektifitas pemerintahan di Propinsi Papua Barat maka
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua perlu diberlakukan juga di Propinsi
Papua Barat. Uraian penjelasan dari Undang – Undang dimaksud akhirnya
mengukuhkan Propinsi Papua Barat untuk berada dalam bingkai Otonomi Khusus
sebagaimana yang telah diberlakukan untuk Propinsi Papua. Dalam rangka
menunjang implementasi Otonomi Khusus di Propinsi Papua dan Papua Barat,
sebagaimana berdasarkan PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP yang dipaparkan
diatas maka dibentuklah MRP, keanggotaan lembaga MRP direkrut dari keterwakilan
orang asli Papua yang berasal dari unsur Adat, unsur Agama dan unsur Perempuan.
DASAR HUKUM PEMBENTUKAN
MRP
Pada
pertengahan Desember Tahun 2004, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004 Tentang
Majelis Rakyat Papua. PP Nomor 54 Tahun 2004 tersebut merupakan amanat
dari Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 5 ayat (2) Yang mengatakan
bahwa, Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk
Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang
memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli
Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,
pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
PP Nomor
54 Tahun 2004 secara umum mengatur tentang penyelenggaraan
pemilihan dan penggantian anggota, pedoman tata tertib, serta kedudukan
keuangan Majelis Rakyat Papua, “termasuk
Pembentukan MRP di Daerah (Propinsi) Pemekaran dari Propinsi Papua”.
Hal utama yang perlu diperhatikan dari penjabaran
substansi PP Nomor 54 Tahun 2004 adalah pembentukan Majelis Rakyat Papua yang
idealnya menurut Undang – Undang harus berangkat dari kepentingan implementasi
Undang – Undang itu sendiri, dalam hal ini Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otsus Papua dan atau Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2008 Menjadi Undang – Undang Otonomi Khusus Papua
Barat. Menurut uraian penjelasan dari UU
No 35 Tahun 2008 yang mana telah menegaskan, bahwa dalam rangka optimalisasi
penyelenggaraan dan efektifitas pemerintahan di Propinsi Papua Barat maka
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua perlu diberlakukan juga di Propinsi
Papua Barat. Secara dejure tentu penjelasan tersebut mengakomodir PP
Nomor 54 Tahun 2004 juga berlaku terutama serta dalam kaitan Pembentukan MRP di
Propinsi Pemekeran, seperti halnya Propinsi Papua Barat yang dimekarkan dari
Propinsi Papua.
Berkenaan dengan hal tersebut, Pembentukan MRP di
Propinsi Pemekaran secara Juridis menurut PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP
diatur dalam Bagian Ke-empat tentang Pembentukan MRP di wilayah Pemekaran yang
pada pasal – pasal dibawah ini menjelaskan sebagai berikut :
·
PP Nomor 54 Tahun 2004
pasal 73, MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk
bertugas dan bertangung jawab untuk membantu Pemerintah menyelesaikan masalah
pemekaran Wilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
ini dengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggota MRP.
·
PP Nomor 54 Tahun
2004 Pasal 74 ayat (1) Dalam hal
pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru dibentuk MRP, yang
berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi. Ayat (2) Tata cara pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan, pelaksanaan tuga
dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini.
·
PP Nomor 54 Tahun 2004 Pasal 75 ayat (1) MRP
mempersiapkan dan bertangung jawab terhadap pembentukan MRP di provinsi –
provinsi baru hasil pemekaran. Ayat (2) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MRP bekerja sama dengan
Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk.
POSISI MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT
Kurang
lebih hampir menjelang 3 (tiga) tahun pasca UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua
Barat, berdasarkan fakta keterwakilan kultur orang asli Papua di Propinsi Papua
Barat tetap berada dalam 1 (satu) MRP yang berpusat di Jayapura Propinsi Papua.
Berdasarkan informal meeting antara Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur
Papua Barat Abraham O Atururi pada tanggal 20 April 2007 telah ada beberapa
kesepakatan yang di hasilkan, salah satunya “Sepakat
bahwa berapapun wilayah administrasi pemerintahan (Propinsi) akan dimekarkan di
tanah Papua, MRP tetap satu sebagai simbol kesatuan kultural bagi seluruh Orang
asli Papua di tanah Papua”, dimana dalam semboyaan saat itu “dua tapi satu,
satu tapi dua”. Secara politik artinya telah ada kesepakatan untuk menunda
amanat pasal 73, pasal 74 dan pasal 75
PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP yang memberi ruang dibentuknya MRP di
Propinsi pemekaran seperti Propinsi Papua Barat.
Pasca
tahun 2007 Setelah lewati Tahun 2008 dan Tahun 2009, pada tahun 2010 Surat
Mendagri tertanggal 8 Desember 2010 Nomor : 162.92/4284/SJ ditujukan kepada
Sdr. Gubernur Propinsi Papua Barat dan Sdr. Ketua DPR Papua Barat bersifat
SEGERA untuk hal : PEMBENTUKAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PROPINSI PAPUA
BARAT. Berdasarkan fakta hampir enam bulan sejak Desember 2010 hingga Mei 2011
surat Mendagri tersebut tidak ketahui secara luas ditengah masyarakat di
Propinsi Papua dan Papua Barat. Padahal masyarakat Papua dan Papua Barat adalah
element penting untuk mengetahui hal dari surat tersebut, tentu alasannya :
Pertama
masyarakat (orang asli Papua) perlu mengetahui dan menilai surat Mendagri
tersebut berdasarkan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam kerangka Otonomi Khusus, sebab sebagaimana menurut pasal 4 ayat (1) UU No
21 Tahun 2001, Kewenangan Propinsi
Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal,
agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan ayat (2) Selain
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi
Khusus, Propinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini.
Kedua,
MRP adalah lembaga kultur orang asli Papua, hal membentuk MRP tidak terlepas
dari hal jati diri dan identitas kultur orang asli Papua sehingga (surat
Mendagri) sangat penting untuk diketahui publik. Ketiga, Surat Mendagri tersebut keluar tepat
pada moment menjelang berakhirnya masa jabatan MRP Jilid I (MRP Periode 2005 –
2010), moment tersebut sebenaranya ketika surat Mendagri tersebut diketahui
berarti telah ada moment yang tepat untuk mempersiapkan MRP Jilid II yang
terdiri dari MRP Propinsi Papua dan MRP Propinsi Papua Barat.
PROSPEK MAJELIS RAKYAT
PAPUA BARAT KE DEPAN
Bertolak
dari adapun posisi MRP Papua Barat diatas Sependapat dengan Agus Sumule [Mantan
tim Assistensi Otsus Papua] dalam buku OTSUS PAPUA, Refleksi dan Prospek
menuliskan, MRP adalah representatife, berarti keterwakilan. MRP mewakili orang
– orang asli Papua dan bertanggungjawab mewujudkan perlindungan dan
pengembangan hak – hak orang asli Papua..... MRP harus dikenal dengan baik dan
mengenal konstituennya (Rakyat yang diwakilinya) lebih dari itu MRP harus
menjaga agar hubungan dengan konstituennya terus menerus ditingkatkan.
Ide
tersebut di atas adalah konsep strategis yang menggambarkan MRP sebagai
manifestasi affirmative action, salah
satu wujud nyata dari penjelmaan identitas Orang asli Papua dalam sebuah
lembaga yang nanti menjadi partner Pemerintah daerah dalam bingkai Otsus. Konsep dimana mengutamakan MRP harus berpihak
pada orang asli Papua, dalam hal ini MRP harus dijauhkan dari domain
Pemerintah. Jika terdapat gap/jarak antara orang asli Papua dan Pemerintah maka
MRP harus lebih dekat dengan rakyat dalam kapasitas sebagai lembaga kultur.
Kedekatan MRP dengan rakyat pada akhirnya tentu dalam posisi MRP sebagai
partner pemerintah akan sangat membantu pemerintah dalam kerangka kebebasan dan
demokrasi yang lebih luas.
Akan
sangat berbahaya jika MRP menjadi stempel Pemerintah yang akhirnya berperan
dalam memuluskan formalitas – formalitas belaka pemerintah, jika demikian “maka orang asli Papua tentunya dapat
kehilangan identitas dan jati diri sebagai sebuah bangsa”.[moriand]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar