Dear You, Welcome To My Personal Blog "svaxnet" By. Simon Rizyard Banundi

Rabu, 04 April 2012

PEMBENTUKAN MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT

Analisa & Fokus Pada Aspek Hukum
UU No.21 Tahun 2001 & UU No.35 Tahun 2008

Oleh : Simon Rizyard Banundi


Kantor MRPB Mansinam Resort Beach Manokwari
Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka pelestarian dan perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.  Sebagai lembaga yang mencerminkan kultur orang asli Papua, sudah merupakan kewajiban bagi MRP untuk memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua dan melestarikan budaya asli Papua yang selama ini masih diabaikan oleh pemerintah.  Dengan disahkannya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, maka pada prinsipnya MRP merupakan jiwa dan roh dari UU OTSUS tersebut.

Read More
MRP menurut pasal 1 huruf g UU Nomor 21 Tahun 2001 Jo, pasal 5 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP, adalah Representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Eksistensi MRP telah diakomodir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Dalam rangka upaya perlindungan hak – hak orang asli Papua menurut PP Nomor 54 tahun 2004, MRP berwenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Propinsi Papua dan Papua Barat, dibidang legislasi MRP berwenang memberikan pertimbangan terhadap Raperdasus (Rancangan Peraturan Daerah Khusus) yang diajukan oleh DPR Papua atau DPR Papua Barat,  MRP juga berwenang memberikan pertimbangan dan Persetujuan terhadap kerjasama Pemerintah Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat dengan Pihak ketiga serta MRP berwenang memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Propinsi Papua Barat terkait perlindungan hak – hak orang asli Papua.

Sejak Desember Tahun 2004 atau pasca empat (4) tahun lembaga kultur orang Papua atau MRP eksis, pada Tahun 2008 Propinsi Papua Barat kemudian diberlakukan Otonomi Khusus berdasarkan Undang - Undang Negara Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2008 menjadi Undang – Undang Otonomi Khusus Papua Barat. Sebagaimana menurut konsideran UU No 35 tahun 2008, bahwa Propinsi Papua Barat belum diberlakukan Otsus oleh Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Propinsi Papua serta pemberlakukan Otsus bagi Propinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang mendesak. Mengacu pada landasan hukum diatas pengaturan secara khusus mengenai MRP yang notabene sebagai Roh Otsus Papua Barat sepintas termuat pada pasal 1 huruf g  UU No 35 Tahun 2008 yang diubah sehingga berbunyi  “Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP, adalah representative kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak – hak orang asli Papua dengan berlandaskan penghormatan terhadap Adat dan Budaya, pemberdayaan terhadap perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana di atur dalam Undang – Undang ini. Sedangkan pengaturan mengenai apa, siapa, serta bagaimana tugas, fungi serta kewenangan MRP menurut pasal 1 huruf g tersebut diatas terulas dalam pasal 19 sampai dengan pasal 25 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam uraian penjelasan dari UU No 35 Tahun 2008 yang mana telah menjelaskan, bahwa dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan dan efektifitas pemerintahan di Propinsi Papua Barat maka Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang  Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua perlu diberlakukan juga di Propinsi Papua Barat. Uraian penjelasan dari Undang – Undang dimaksud akhirnya mengukuhkan Propinsi Papua Barat untuk berada dalam bingkai Otonomi Khusus sebagaimana yang telah diberlakukan untuk Propinsi Papua. Dalam rangka menunjang implementasi Otonomi Khusus di Propinsi Papua dan Papua Barat, sebagaimana berdasarkan PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP yang dipaparkan diatas maka dibentuklah MRP, keanggotaan lembaga MRP direkrut dari keterwakilan orang asli Papua yang berasal dari unsur Adat, unsur Agama dan unsur Perempuan.

DASAR HUKUM PEMBENTUKAN MRP
Pada pertengahan Desember Tahun 2004, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004 Tentang  Majelis Rakyat Papua. PP Nomor 54 Tahun 2004 tersebut merupakan amanat dari Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 5 ayat (2) Yang mengatakan bahwa, Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

PP Nomor 54 Tahun 2004 secara umum mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan dan penggantian anggota, pedoman tata tertib, serta kedudukan keuangan Majelis Rakyat Papua, “termasuk Pembentukan MRP di Daerah (Propinsi) Pemekaran dari Propinsi Papua”.

Hal utama yang perlu diperhatikan dari penjabaran substansi PP Nomor 54 Tahun 2004 adalah pembentukan Majelis Rakyat Papua yang idealnya menurut Undang – Undang harus berangkat dari kepentingan implementasi Undang – Undang itu sendiri, dalam hal ini Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dan atau Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2008 Menjadi Undang – Undang Otonomi Khusus Papua Barat. Menurut uraian penjelasan dari UU No 35 Tahun 2008 yang mana telah menegaskan, bahwa dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan dan efektifitas pemerintahan di Propinsi Papua Barat maka Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang  Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua perlu diberlakukan juga di Propinsi Papua Barat. Secara dejure tentu penjelasan tersebut mengakomodir PP Nomor 54 Tahun 2004 juga berlaku terutama serta dalam kaitan Pembentukan MRP di Propinsi Pemekeran, seperti halnya Propinsi Papua Barat yang dimekarkan dari Propinsi Papua.

Berkenaan dengan hal tersebut, Pembentukan MRP di Propinsi Pemekaran secara Juridis menurut PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP diatur dalam Bagian Ke-empat tentang Pembentukan MRP di wilayah Pemekaran yang pada pasal – pasal dibawah ini menjelaskan sebagai berikut :
·         PP Nomor 54 Tahun 2004 pasal 73, MRP bersama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk bertugas dan bertangung jawab untuk membantu Pemerintah menyelesaikan masalah pemekaran Wilayah yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan realitas dan sesuai peraturan perundang-undangan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah pelantikan anggota MRP.
·         PP Nomor 54 Tahun 2004 Pasal 74 ayat (1) Dalam hal pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru dibentuk MRP, yang berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi. Ayat (2) Tata cara pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan, pelaksanaan tuga dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

·         PP Nomor 54 Tahun 2004 Pasal 75 ayat (1) MRP mempersiapkan dan bertangung jawab terhadap pembentukan MRP di provinsi – provinsi baru hasil pemekaran. Ayat (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) MRP bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP sebagai provinsi induk.

Sedikitnya dua pasal dari PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP yaitu pasal 74 dan Pasal 75 adalah kedua pasal yang terutama membahas tentang Pembentukan MRP diluar MRP induk, dalam hal ini yaitu peluang dibentuknya MRP di Propinsi Pemekaran seperti halnya Propinsi Papua Barat. Pasal tersebut menjadi affirmatife action yang menjauhkan kepentingan hak – hak dasar orang asli Papua dari intervensi kewenangan Pemerintah Pusat, selain itu untuk mengukuhkan identitas kultur  orang Papua melalui kelembagaan MRP. 

POSISI MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT
Kurang lebih hampir menjelang 3 (tiga) tahun pasca UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua Barat, berdasarkan fakta keterwakilan kultur orang asli Papua di Propinsi Papua Barat tetap berada dalam 1 (satu) MRP yang berpusat di Jayapura Propinsi Papua. Berdasarkan informal meeting antara Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat Abraham O Atururi pada tanggal 20 April 2007 telah ada beberapa kesepakatan yang di hasilkan, salah satunya “Sepakat bahwa berapapun wilayah administrasi pemerintahan (Propinsi) akan dimekarkan di tanah Papua, MRP tetap satu sebagai simbol kesatuan kultural bagi seluruh Orang asli Papua di tanah Papua”, dimana dalam semboyaan saat itu “dua tapi satu, satu tapi dua”. Secara politik artinya telah ada kesepakatan untuk menunda amanat pasal 73, pasal  74 dan pasal 75 PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP yang memberi ruang dibentuknya MRP di Propinsi pemekaran seperti Propinsi Papua Barat.
Pasca tahun 2007 Setelah lewati Tahun 2008 dan Tahun 2009, pada tahun 2010 Surat Mendagri tertanggal 8 Desember 2010 Nomor : 162.92/4284/SJ ditujukan kepada Sdr. Gubernur Propinsi Papua Barat dan Sdr. Ketua DPR Papua Barat bersifat SEGERA untuk hal : PEMBENTUKAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) DI PROPINSI PAPUA BARAT. Berdasarkan fakta hampir enam bulan sejak Desember 2010 hingga Mei 2011 surat Mendagri tersebut tidak ketahui secara luas ditengah masyarakat di Propinsi Papua dan Papua Barat. Padahal masyarakat Papua dan Papua Barat adalah element penting untuk mengetahui hal dari surat tersebut, tentu alasannya :

Pertama masyarakat (orang asli Papua) perlu mengetahui dan menilai surat Mendagri tersebut berdasarkan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam kerangka Otonomi Khusus, sebab sebagaimana menurut pasal 4 ayat (1) UU No 21 Tahun 2001, Kewenangan Propinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan ayat (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Propinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini.

Kedua, MRP adalah lembaga kultur orang asli Papua, hal membentuk MRP tidak terlepas dari hal jati diri dan identitas kultur orang asli Papua sehingga (surat Mendagri) sangat penting untuk diketahui publik. Ketiga, Surat Mendagri tersebut keluar tepat pada moment menjelang berakhirnya masa jabatan MRP Jilid I (MRP Periode 2005 – 2010), moment tersebut sebenaranya ketika surat Mendagri tersebut diketahui berarti telah ada moment yang tepat untuk mempersiapkan MRP Jilid II yang terdiri dari MRP Propinsi Papua dan MRP Propinsi Papua Barat.

PROSPEK MAJELIS RAKYAT PAPUA BARAT KE DEPAN
Bertolak dari adapun posisi MRP Papua Barat diatas Sependapat dengan Agus Sumule [Mantan tim Assistensi Otsus Papua] dalam buku OTSUS PAPUA, Refleksi dan Prospek menuliskan, MRP adalah representatife, berarti keterwakilan. MRP mewakili orang – orang asli Papua dan bertanggungjawab mewujudkan perlindungan dan pengembangan hak – hak orang asli Papua..... MRP harus dikenal dengan baik dan mengenal konstituennya (Rakyat yang diwakilinya) lebih dari itu MRP harus menjaga agar hubungan dengan konstituennya terus menerus ditingkatkan.

Ide tersebut di atas adalah konsep strategis yang menggambarkan MRP sebagai manifestasi affirmative action, salah satu wujud nyata dari penjelmaan identitas Orang asli Papua dalam sebuah lembaga yang nanti menjadi partner Pemerintah daerah dalam bingkai Otsus.  Konsep dimana mengutamakan MRP harus berpihak pada orang asli Papua, dalam hal ini MRP harus dijauhkan dari domain Pemerintah. Jika terdapat gap/jarak antara orang asli Papua dan Pemerintah maka MRP harus lebih dekat dengan rakyat dalam kapasitas sebagai lembaga kultur. Kedekatan MRP dengan rakyat pada akhirnya tentu dalam posisi MRP sebagai partner pemerintah akan sangat membantu pemerintah dalam kerangka kebebasan dan demokrasi yang lebih luas. 

Akan sangat berbahaya jika MRP menjadi stempel Pemerintah yang akhirnya berperan dalam memuluskan formalitas – formalitas belaka pemerintah, jika demikian “maka orang asli Papua tentunya dapat kehilangan identitas dan jati diri sebagai sebuah bangsa”.[moriand] 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar